MANAJEMEN PERUBAHAN DAN TRANSFORMASI PERGURUAN TINGGI DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

MANAJEMEN PERUBAHAN DAN TRANSFORMASI PERGURUAN TINGGI DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

BAGIAN I

PENDAHULUAN

Perkembangan pendidikan tinggi dewasa ini telah menimbulkan keprihatinan meluas di tengah masyarakat. Terlebih dihadapkan pada krisis multidimensional yang berkepanjangan. Masyarakat pun mengharapkan kepastian bagaimana bangsa ini akan menghadapi kompetisi global. Demikian berbagai indikator sosial dan ekonomi juga telah menunjukkan bahwa posisi bangsa ini makin tertinggal dari bangsa-bangsa lain dalam kompetisi global. Bagaimana pendidikan tinggi mencari jalan keluar dan bersama-sama masyarakat menggalang upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini? Bagaimana pula perguruan tinggi meningkatkan mutu akademiknya di tengah keterbatasan sumber daya dan urangnya perhatian dan dukungan lingkungan?

Kesemuanya ini menjadi latar belakang perlunya transformasi perguruan tinggi pada era kompetisi global sekarang ini. Pemikiran bagaimana menempatkan pendidikan tinggi sebagai ujung tombak perubahan bangsa sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Berulang kali para pembuat kebijakan pendidikan tinggi dihadapkan pada pilihan-pilihan antara pemerataan pendidikan atau pengembangan pusat keunggulan (centers of excellence).

Terkait pengembangan pendidikan di universitas Ling (2005) menyatakan bahwa, pengembangan dalam organisasi organisasi pada umumnya dapat dilihat sebagai  perubahan terencana dalam perilaku orang, proses proses pada lingkungan organisasi untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi insitusi dalam pencapaian tujuannya.

Peranan perguruan tinggi dalam mempersiapkan daya saing bangsa mengarungi era persaingan global sudah sangat urgen. Pada umumnya pendidikan tinggi di negara ini telah tertinggal, bahkan terasing dari kebutuhan dan realitas sosial, ekonomi, serta budaya masyarakatnya. Perguruan tinggi memerlukan otonomi dan independensi untuk dapat memulihkan perannya itu keluar dari menara gading dan terlibat secara langsung sebagai agent of change dalam perubahan masyarakat.

Memposisikan sebuah perguruan tinggi pada barisan perguruan tinggi-perguruan tinggi terbaik memerlukan perubahan yang fundamental sehingga mampu bersaing (better competitive situation). Sebuah perguruan tinggi harus memiliki strategic intent. Untuk mewujudkannya perlu dilakukan transformasi kelembagaan yang lebih kompleks dari sekadar pengembangan organisasi (organization development). Perguruan tinggi merupakan lembaga, dibangun komunitas akademik yang bersifat kolegial, dan menjunjung tinggi academic value untuk mencerdaskan bangsa. Ini yang membedakannya dengan organisasi lain.  Melakukan perubahan fundamental untuk dapat menghasilkan nilai-nilai akademik, sosial, dan ekonomi merupakan kata kunci dalam transformasi sebuah perguruan tinggi. Transformasi kelembagaan ini mencakup penyelarasan atau perancangan ulang dari strategi, struktur, sistem, stakeholders relation, staff, skills (competence), style of leadership, dan shared value. Upaya transformasi kelembagaan ini diharapkan dapat merevitalisasi peran perguruan tinggi agar mampu berperan secara optimal dalam mewujudkan academic excellence for education, for industrial relevance, for contribution for new knowledge, dan for empowerment.

Langkah Reformasi Pendidikan Tinggi

Organizational for Economic Coorperation and Development (OECD) dalam laporannya yang berjudul ‘Education Today, The OECD Perspective’ (2009) melakukan review tentang implementasi reformasi pendidikan tinggi, dan menyarankan supaya pendidikan tinggi melakukan:

1.      Recognise the viewpoints of stakeholders through iterative policy development. Harus ada pengembangan kebijakan yang terus menerus untuk mengkaji perbedaan sudut pandang stakeholder.

2.      Allow for bottom up initiatives to come forward as proposals by independent committees. Inisiatif yang sifatnya dari level bawah harus diberikan saluran dalam bentuk proposal oleh komite independen

3.      Establish ad-hoc independent committees to initiate tertiary education reforms and involve stakeholder. Diperlukannya komite ad hoc untuk inisiasi reformasi yang melibatkan stakeholder

4.      Use pilots and experimentation. Gunakan program pengenalan dan percobaan

5.      Favour incremental reforms over comprehensive overhauls unless there is wide public support for change.melaksanakan peningkatan reformasi terhadap proses perbaikan yang menyeluruh, terkecuali jika ada dukungan luas dari publik untuk perubahan.

6.      Identify potential loser from tertiary education reform and build in compensatory mechanisms. Melakukan identifikasi kerugian akibat reformasi pendidikan tinggi dan membangun sistem mekanisme kompensasi.

7.      Create condition for and support the successful implementation of reforms. Menciptakan kondisi dan dukungan untuk pelaksanaan reformasi yang sukses.

8.      Ensure communication about the benefit of reform and the costs of inaction. Memastikan komunikasi terkait keuntungan reformasi dan biaya kegagalan.

9.      Implement the full package of policy proposals. Menjalankan keseluruhan proposal kebijakan.

BAGIAN II

KAJIAN TEORI

Konsep manajemen Perubahan (Management of Change)

Perubahan adalah hal yang pasti terjadi, termasuk di dalam konteks organisasi. Perubahan terjadi karena yang menjalankan organisasi adalah manusia, dan manusia terus berubah. Sering dikatakan satu hal yang pasti terjadi di dunia adalah perubahan.

Pengertian perubahan secara umum menurut Stephen Robbins dalam Organizational behavior (2009), adalah membuat sesuatu terjadi. Dalam organisasi, perubahan dapat terjadi dalam lingkup yang kecil, tentang sesuatu yang kecil, dan perubahan yang kecil-kecil ini terjadi secara terus menerus. Perubahan ini disebut first order change atau sering juga disebut contiuous improvement. Pada umumnya perusahaan perusahaan jepang yang dikenal piawai dalam menerapkan perubahan ini. Ada pula perubahan yang besar besaran, yakni perubahan multi dimensi dalam suatu organisasi. Perubahan ini disebut second order change atau disebut dengan istilah dramatic change. Ini tidak berarti bahwa jika suatu organisasi menerapkan sudah menerapkan first order change, maka organisasi tersebut tidak perlu menerapkan second order change. Juga tidak berarti bahwa jika suatu organisasi menerapkan second order change, maka organisasi tersebut tidak perlu menerapkan first order change. Kedua jenis perubahan itu perlu diterapkan. Pimpinan organisasi harus jeli dan peka terhadap faktor faktor yang menyebabkan perlunya melakukan perubahan.

Sonnenberg, dalam Managing With A Conscience: How to Improve Performance Through Integrity, Trust, And Commitment (1994) menyatakan bahwa di dunia ini perubahan terjadi setiap hari, sehingga menjalankan usaha seperti biasa adalah merupakan resep yang dapat menjamin kegagalan. Agar berhasil, perusahaan harus merangkul perubahan. Tidak cukup perusahaan hanya reaktif terhadap perubahan. Perusahaan harus belajar mengantisipasi perubahan. Robbins menyatakan, organisasi harus berubah, kalau tidak berubah, organisasi tersebut akan mati. Apa yang diutarakan Sonnenberg dan Robbins senada dengan Smither, Houston dan McIntire (Organizational Development: Strategies for changing Environment, 1996) yang menyatakan bahwa semua organisasi harus berubah agar dapat bertahan hidup. Pernyataan ini mempunyai makna bahwa perubahan yang terjadi dalam organisasi harus dirumuskan sedemikian rupa demi kepentingan organisasi. Oleh karena itu, setiap perubahan dalam organisasi harus direncanakan dan dikelola sebaik mungkin. Smither, Houston dan McIntire secara tegas menyatakan bahwa proses perubaan harus dikelola secara terampil agar perubahan tersebut terjadi secara efektif demi kepentingan organisasi. Perubahan seperti ini disebut dengan istilah planned change. Inilah yang merupakan pokok bahasan dari manajemen perubahan.

Dalam melakukan perubahan, informasi tentang perlunya perubahan boleh datang dari mana saja: dari bawahan,  orang luar organsasi, dari orang desa, dari pengamat, dari konsultan, dari pelanggan, dan lain lain. Keputusan untuk berubah atau tidak berubah selalu dari atas (pimpinan puncak organisasi, pemilik organisasi atau kepala unit kerja), pendekatan manajemen perubahan adalah top-down.

Jika keputusan untuk berubah sudah ditetapkan, pelaksanaan atau implementasi perubahan tidak dapat dilakukan sendiri oleh orang yang memutuskan perubahan itu. Sejumlah orang tertentu diperlukan untuk meyakinkan seluruh anggota organisasi bahwa perubahan itu akan membuat organisasi menjadi lebih baik, serta untuk mengelola dan memonitor perubahan itu. Sejumlah orang tersebut disebut dengan change agent (agen perubahan). Orang orang yang di angkat sebagai agen perubahan tersebut berperan sebagai katalisator dan motivator untuk membuat seluruh anggota organisasi termotivasi untuk berubah. Tanpa motovasi yang tinggi dari seluruh anggota organisasi, tujuan yang telah ditetapkan tidak akan terwujud. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Bateman dan Snell dalam Management: Competing In The New Era (2002) bahwa seluruh anggota organisasi harus termotivasi untuk berubah, jika tidak tujuan perubahan tidak akan terwujud.

Faktor faktor penyebab perubahan

Menurut berbagai literatur, terdapat berbagai faktor penyebab terjadinya perubahan dalam organisasi. Dari berbagai sumber, berikut ini rangkuman faktor-faktor penyebab perubahan yang lazim diidentifikasi dalam berbagai kajian.

Pertama, teknologi. Perkembangan teknologi sering menjadi penyebab penting untuk melakukan perubahan. Hal ini karena teknologi beru selalu lebih canggih dari teknologi lama. Kedua, sumber daya manusia. Kualitas SDM terus berkembang karena kurikulum di lembaga lembaga pendidikan terus berubah. Tingkat pendidikan sumberdaya manusia terus meningkat. Pengetahuan dan keterampilan karyawan sebagai dampak dari pengalaman kerja dan pelatihan terus berkembang. Dengan demikian pola pikir SDM terus berubah. Keanekaragaman latar belakang tenaga kerja terus berkembang, masing masing membawa budaya yang berbeda. Ini semua membawa perubahan dalam organisasi. Ketiga ekonomi. Keadaan ekonomi suatu negara berpengaruh terhadap terjadinya perubahan dalam organisasi di negara tersebut. Krisis moneter menimbulkan perubahan dalam organisasi. Banyak perusahaan mengurang tenaga kerja, tingkat pengangguran tinggi. Jika ekonomi suatu negara baik akan semakin sulit mendapat tenaga kerja dari dalam negeri, akan terjadi kelangkaan tenaga kerja, tenaga kerja harus diimpor dari negara lain. Sebagai contoh malaysia. Sekitar tiga juta orang tenaga kerja malaysia berasal dari luar Malaysia. Peraturan tenaga kerja tentang malaysia terus berubah. Perlakuan terhadap tenaga kerja yang di impor diatur tersendiri. (dikenal dengan migrant worker). Keempat, persaingan. Dalam era globalisasi ini, persaingan tidak hanya datang dari dalam negeri, melainkan juga dari luar negeri. Esensi persaingan adalah perebutan ‘pasar’. Dengan adanya persaingan, terjadi perubahan perilaku pelanggan yang menyebabkan perusahaan melakukan perubahan untuk merebut hati pelanggan agar pelanggan tidak pindah ke perusahaan lain dan sekaligus dapat menarik pelanggan pesaing. Ini berlaku pula didunia pendidikan Tinggi, persaingan antara perguruan tinggi di dalam negeri semakin ketat dengan makin banyaknya perguruan tinggi baru yang muncul, tetapi disisi lain diperlukan perubahan yang konsisten dalam hal mutu pengelolaan pendidikan tinggi tersebut agar tidak kalah bersaing dengan perguruan tinggi lain dan dapat survive.

Kelima, regulasi. Peraturan daerah, nasional, maupun internasional terus berubah. Organisasi harus terus memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan regulasi yang berlaku.sebagai contoh dalam bidang pendidikan UU BHP yang sempat diberlakukan pada tahun 2009 menyebabkan seluruh perguruan tinggi di indonesia melakukan perubahan dalam rencana strategisnya, dengan mengakomodasi poin poin yang strategis bagi kelangsungan perguruan tinggi tersebut. Keenam adalah politik.

Sebagai dampak dari faktor faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut , perubahan dalam organisasi dapat dapat dikelompokan menjadi beberapa opsi. Robbins dalam Organizationa Behavior: Concepts,Controversies, Applications (2004), misalnya mengelompokan opsi perubahan menjadi empat yaitu: struktur (baik struktur organisasi, kebijakan, maupun komposisi orang), teknologi, Physical setting (lay out), dan orang. Dari empat opsi ini, yang paling sukar diubah adalah orang, hal ini karena yang diubah adalah pola pikir orang, bukan memecat semua orang dan mengganti dengan yang baru.

Oleh sebab itu permasalahan yang terjadi adalah orang (tenaga kerja) sering enggan untuk mengubah perilaku mereka. Keengganan untuk berubah muncul karena mereka merasa nyaman dengan cara kerja yang ada. Dalam manajemen perubahan, keengganan untuk berubah atau penolakan terhadap perubahan dikenal dengan resistensi.

Konteks perubahan

Dalam kaitannya dengan konteks perubahan Balogun dan Hailey dalam bukunya yang berjudul Exploring Strategic Change (2004) merumuskan suatu model berupa kaledoskop perubahan yang merupakan fitur fitur atau aspek kontekstual yang perlu dipertimbangkan dalam memutuskan suatu perubahan, fitur tersebut yaitu:

1.      Time: seberapa cepat perubahan diperlukan? Apakah organisasi dalam keadaan krisis atau apakah itu terkait dengan pengembangan strategi jangka panjang?

2.      Scope: tingkatan perubahan yang bagaimana yang dibutuhkan? Penyesuaian atau trasformasi? Apakah perubahan mempengaruhi seluruh organisasi atau hanya sebagaian.

3.      Preservation: aset, karakteristik, praktik organisasi apa yang perlu tetap dijaga dan dilindungi selama perubahan

4.      Diversity: apakah staf dan profesional dan divisi dalam organisasi bersifat homogen atau lebih beragam dalam hal nilai nilai, norma, adan perilaku?

5.      Capability: apa tingkatan kemampuan organisasi, manajerial, dan personal untuk melaksanakan perubahan?

6.      Capacity: seberapa besar sumber daya yang mampu diinvestasikan oleh organisasi dalam perubahan yang diajukan terutama dalam hal keuangan, SDM, dan waktu.

7.      Readiness for Change: Seberapa siap anggota organisasi dalam melakukan perubahan? Apakah mereka menyadari akan kebutuhan perubahan dan termotivasi untuk melaksanakan perubahan?

8.      Power: apakah kekuasaan diberikan dalam organisasi. Seberapa besar kebebasan hak dalam memilih yang dibutuhkan oleh unit untuk berubah, dan yang dimiliki oleh pimpinan perubahan?

Resistensi Terhadap Perubahan

Pada dasarnya, melakukan perubahan merupakan usaha untuk memanfaatkan peluang untuk mencapai keberhasilan. Karena itu melakukan perubahan mengandung resiko, yaitu adanya resistensi atau penolakan terhadap perubahan. Dalam konteks ini Ahmed, Lim & Loh di dalam Learning Through Knowledge Management (2002) secara tegas menyatakan bahwa resistensi terhadap perubahan adalah tindakan yang berbahaya dalam lingkungan yang penuh dengan persaingan ketat.

Resistensi terhadap perubahan dapat dikelompokan menjadi dua kategori, yaitu resistensi individu dan resistensi organisasi. Pengertian resistensi individu adalah penolakan anggota organisasi terhadap perubahan yang diajukan oleh pimpinan organisasi.

Beberapa faktor resistensi yang lazim terjadi dalam perubahan organisasi adalah sebagai berikut:

1.      Kebiasaan kerja. Orang sering resisten terhadap perubahan karena menganggap kebiasaan yang baru dianggap merepotkan atau mengganggu.

2.      Keamanan. Seperti takut dipecat, atau kehilangan jabatan

3.      Ekonomi. Faktor ekonomi seperti gaji paling sering dipertanyakan, karena orang sangat tidak megharapkan gajinya turun.

4.      Sesuatu yang tidak diketahui.

Istilah lain yang sering dipakai mengenai resistensi terhadap perubahan adalah karena setiap perubahan akan mengganggu comfort zone (zona nyaman), yaitu kebiasaan-kebiasaan kerja yang selama ini dirasakan nyaman, Sonnenberg dalam kaitannya dengan hal ini mengidentifikasi tujuh alasan mengapa orang resisten terhadap perubahan, yaitu:

1.      Procastination. Kecenderungan menunda perubahan, karena merasa masih banyak waktu untuk melakukan perubahan.

2.      Lack of motivation. Orang berpendapat bahwa perubahan tersebut tidak memberikan manfaat sehingga enggan berubah

3.      Fear of failure. Perubahan menimbulkan pembelajaran baru. Orang takut kalau nantinya ia tidak memiliki kemampuan yang baik tentang sesuatu yang baru tersebut sehingga ia akan gagal.

4.      Fear of the unkown. Orang cenderung merasa lebih nyaman dengan hal yang diketahuinya dibandingkan dengan hal yang belum diketahui. Perubahan berarti mengarah kepada sesuatu yang belum diketahui.

5.      Fear of loss. Orang takut kalau perubahan akan menurunkan job security, power, t atau status.

6.      Dislike the innitiator of change. Orang sering sulit menerima perubahan jika mereka ragu terhadap kepiawaian inisiator perubahan atau tidak menyukai anggota agen perubahan.

7.      Lack of communication. Salah pengertian akan apa yang diharapkan dari perubahan, informasi yang disampaikan tidak utuh dan komprehensif.

Penanggulangan Resistensi

Kotter dan Schlesinger, dalam ‘Choosing Strategies for Change’ (Harvard Business Review-Juli – Agustus, 2008), merumuskan enam cara untuk menanggulangi resistensi terhadap perubahan. Robbins (2005), mengkaji berbagai taktik untuk menanggulangi resistensi terhadap perubahan, namun kemudian memutuskan untuk merangkum keenam taktik yang dirumuskan oleh Kotter & Schlesinger (2008) sebagaimana rangkuman berikut.

1.      Pendidikan dan Komunikasi. Menerapkan komunikasi terbuka kepada seluruh anggota. Komunikasi dapat dilakukan dalam bentuk lisan, tulisan, atau lisan dan tulisan. Dengan demikian seluruh anggota organisasi dapat menerima informasi dari satu sumber. Informasi yang disampaikan harus jelas, baik alasan mengapa dilakukan perubahan, tujuan melakukan perubahan, dan manfaat perubahan bagi seluruh organisasi.

2.      Partisipasi. Sebelum mengaplikasikan rancangan perubahan yang telah diformulasikan, pimpinan puncak dan agen perubahan harus dapat mengidentifikasi siapa-siapa yang resisten terhadap perubahan. Orang orang yang resisten kemudian dilibatkan dalam membahas faktor faktor yang menimbulan perubahan.

3.      Fasilitas dan dukungan. Agen perubahan harus dilatih sedemikian rupa agar dapat memfasilitasi dan membantu anggota organisasi yang menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang telah dirancang. Jika perlu agen perubahan dapat menyelenggarakan pelatihan atau seminar seminar untuk meningkatkan pemahaman tentang perubahan tersebut.

4.      Negoisasi. Dilakukan jika agen perubahan menemui resistensi perubahan dari orang tertentu. Orang tersebut diundang untuk berdiskusi dan negosiasi.

5.      Manipulasi dan kooptasi. Yang dimaksud dengan manipulasi adalah menonjolkan suatu realita sehingga terlihat dan terasa akan sangat menarik. Sedangkan kooptasi adalah kombinasi dari manipulasi dan partisipasi. Dengan menonjolkan suatu realita sehingga terlihat menarik orang yang resisten diajak berdiskusi dan membuat keputusan tentang faktor faktor yang mempengaruhi pentingnya melakukan perubahan.

6.      Paksaan. Taktik ini adalah penerapan ancaman atau pemaksaan terhadap orang yang resisten terhadap perubahan. Pemindahan atau rotasi, tidak promosi, pemecatan, adalah beberapa bentuk paksaan.

Dalam rumusan cara-cara penanggulangan resistensi terhadap perubahan, Kotter dan Schlesinger (2008) menggabungkan pendidikan dan komunikasi sebagai satu cara. Dalam praktiknya, pendidikan dapat juga dijadikan sebagai satu taktik tersendiri. Orang orang yang resisten terhadap perubahan dapat juga ditanggulangi dengan menyekolahkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Diharapkan, selama mereka mengikuti pendidikan, pola pikir mereka akan berubah dan akan lebih memahami perubahan yang akan dilakukan.

Langkah – Langkah Perubahan

Pakar manajemen perubahan C.Carr, dalam ‘Seven Keys to Successful Change’ (1994) merumuskan 7 langkah perubahan dalam bentuk pertanyaan. Menurut Carr, pemimpin dan agen perubahan harus menemukan jawaban terhadap ketujuh pertanyaan tersebut demi keberhasilan perubahan. Tujuh langkan tersebut adalah:

Pertama, Apakah perubahan tersebut merupakan suatu beban atau tantangan? Perubahan harus dipersepsikan sebagai tantangan, bukan sebagai beban. Karena itu, agen perubahan dan pimpinan harus kreatif meyakinkan semua anggota organisasi bahwa perubahan tersebut merupakan tantangan.

Kedua, Apakah perubahan tersebut jelas, bermanfaat, nyata? Jika agenda perubahan tidak jelas, bermanfaat dan nyata, dalam arti benar benar urgen, maka resistensinya akan tinggi. Karena itu data yang mendukung urgensi perubahan tersebut harus dipersiapkan. Manfaat perubahan juga harus jelas bagi seluruh anggota organisasi.

Ketiga, apakah manfaat perubahan tersebut segera diperoleh? Anggota organisasi selalu ingin mengetahui kapan manfaat perubahan dapat dapat mereka nikmati. Agar manfaat perubahan dirasakan dalam waktu relatif singkat, perubahan harus dimulai dari suatu hal yang dapat dirasakan. Ini berarti tujuan tujuan antara harus dirumuskan.

Keempat, apakah perubahan terbatas pada satu unit kerja atau beberapa unit kerja terkait? Jika karyawan mempunyai persepsi bahwa perubahan hanya diterapkan pada satu unit kerja saja, maka karyawan pada unit kerja tersebut akan menganggap perubahan merupakan suatu beban. Dalam organisasi, tidak ada perubahan yang terjadi pada satu unit kerja tanpa ada perubahan pada unit kerja lain. Satu unit kerja pasti terkait pada unit kerja lain. Kerena itu, keterkaitan perubahan dengan unit kerja lain harus jelas.

Kelima, apa dampak perubahan tersebut terhadap kekuasaan dan status? Kekuasaan (power) dan status dalam perusahaan berkaitan erat dengan unit kerja. Agen perubahan sering salah mengantisipasi pentingnya kekuasaan dan status bagi karyawan. Namun jika dibahas terlalu banyak, maka pelaksanaan perubahan akan sulit.

Keenam, apakah perubahan sejalan dengan budaya organisasi yang ada? Satu perubahan sering diikuti dengan perubahan lain. Agen perubahan harus dapat meyakinkan anggota organisasi bahwa nilai nilai organisasi tetap dipertahannkan.

Ketujuh, apakah perubahan tersebut pasti akan dilaksanakan? Jika karyawan sudah menyadari urgensi perubahan, karyawan ingin kepastian akan terjadinya perubahan tersebut.

Pakar manaajemen perubahan yang lain, Kotter dalam ‘Leading Change’: Why Transformation Effort Fail’ yang dimuat dalam Harvard Business Review (2007) yang merupakan terbitan ulang dari edisi tahun 1995, merumuskan 8 langkah perubahan yang dikenal dengan Kotter’s Eight Step to Transforming Organization. Dalam uraiannya, Kotter menyoroti kesalahan kesalahan yang sering dilakukan oleh agen perubahan. Delapan langkah perubahan dan kesalahan kesalahan yang dirumuskan oleh Kotter (2007) merupakan rangkuman dari observasi yang ia lakukan terhadap perusahaan perusahaan yang sukses maupun gagal menerapkan perubahan.

Langkah 1:

Establishing A Sense Of Urgency

Makna kata urgensi adalah sesuatu yang sangat penting dan mendesak. Sebagai langkah pertama dalah perubahan, pimpinan harus merumuskan perubahan berdasarkan kajian yang rinci tentang faktor faktor yang memperngaruhi perubahan. Dengan demikian, hasil rumusan akan terasa urgen. Langkah pertama ini kelihatannya mudah, tetapi realitanya sulit. Menurut Kotter, lebih dari 50% perusahaan yang melakukan perubahan gagal pada langkah pertama ini. Kesulitan terjadi karena mayoritas pimpinan perusahaan sibuk dengan aktivitas operasional, sibuk bekerja untuk mencapai target yang ditetapkan sehingga kurang mengikuti perkembangan eksternal.

Langkah 2:

Forming A Powerful Guiding Coalition

Mayoritas inisiatif perubahan berasal dari satu atau dua orang. Namun untuk kesuksesan agenda perubahan diperlukan kerjasama yang baik dari sejumlah orang (disebut dengan istilah guiding coalition team). Jumlah anggota tim bervariasi, bergantung besar kecilnya perusahaan. Komitmen tim perubahan ini sangat diperngaruhi oleh perasaan masing masing anggota tim tentang urgensi perubahan. Anggota tim ini harus bertemu berkali kali untuk menyusun agenda membangun komitmen. Kegagalan dalam membangun tim ini adalah kesalahan kedua dalam memimpin perubahan. Kesalahan ini terjadi karena pemimpin beranggapan bahwa membuat agenda perubahan adalah pekerjaan mudah.

Langkah 3:

Creating a Vision

Aktivitas lain yang harus dirumuskan oleh guiding coalition team adalah merumuskan visi. Pada awalnya visi berupa draft dapat dirumuskan oleh satu orang atau oleh beberapa orang sebagai tim kecil. Draft visi tersebut dibahas dalam tim besar. Visi harus berfungsi sebagai arah dan panduan panduan kerja. Visi harus dihayati oleh seluruh anggota tim. Visi harus mudah dipahami dan mudah dikomunikasikan kepada seluruh karyawan. Oleh karena itu, rumusan visi harus sederhana dan merumuskannya sering menyita banyak waktu. Visi yang tidak jelas dan membingungkan merupakan kesalahan ketiga yang sering terjadi dalam memimpin perubahan. Akibat kesalahan ini, berbagai rencana kerja tidak dapat dilaksanakan karena masing masing menuju arah yang berbeda beda.

Langkah 4:

Communicating A Vision

Visi yang telah dirumuskan harus dikomunikasikan kepada seluruh karyawan agar seluruh karyawan benar benar memahami visi tersebut. Visi tersebut harus berfungsi sebagai guiding principle dalam bertindak dan berperilaku. Untuk itu pemimpin harus mampu memanfaatkan semua media komunikasi yang ada di perusahaan. Penjelasan harus dibuat sedemikian rupa sehingga menarik untuk dibaca dan didengarkan serta mudah untuk dipahami. Semua anggota coalition team harus menjadi simbol yang hidup, harus menjadi panutan bagi seluruh karyawan.

Kata kata yang mereka ucapkan atau tuliskan harus sesuai dengan perilaku mereka. Inilah yang disebut denga istilah words equal deeds. Dalam hal ini, Kotter merumuskan tiga kesalahan yang sering terjadi. Kesalahan pertama: melakukan komunikasi dengan satu kali tulisan atau pertemuan. Kesalahan kedua: pimpinan puncak perusahaan mengumpulkan semua karyawan dan kemudian memberikan ceramah yang panjang. Setelah ceramah, pemimpin tersebut berasumsi bahwa semua karyawan telah memahami visi tersebut. Kesalahan ketiga: pemimpin senior atau agen perubahan memberikan ceramah berkali kali, tetapi tidak mencerminkan apa yang mereka ceramahkan.

Langkah 5:

Empowering Other To Act On The Vision

Seluruh anggota coalition team harus menyadari bahwa komunikasi tidak pernah cukup. Setiap perubahan pasti menghadapi kendala. Yang sering menjadi kendala adalah pola pikir. Kerena itu, yakinkan karyawan bahwa perubahan tersebut adalah benar dan demi kepentingan perusahaan, yang juga demi kepentingan karyawan. Jika yang menjadi kendala adalah sistem dan prosedur kerja, ganti sistem dan prosedur kerja tersebut. Dalam mengelola perubahan  banyak perusahaan yang berhasil sampai langkah keempat tetapi gagal pada langkah kelima. Kegagalan terjadi karena pimpinan perusahaan tidak berani menyingkirkan kendala yang dihadapi karyawan

Langkah 6:

Planning For and Creating Short-Term Wins

Perubahan memerlukan waktu yang relatif lama. Namun karyawan cenderung untuk mengetahui hasil perubahan dalam waktu yang relatif singkat. Jika setelah dua tahun tidak diketahui hasilnya, pada umumnya karyawan mulai jenuh dan berusaha kembali ke cara kerja lama. Karena itu, perlu dirumuskan tujuan antara (short-term-wins). Tujuan antara harus mengukur keberhasilan perubahan pada skala kecil. Tujuan antara harus dipahami oleh semua karyawan sejak awal pelaksanaan perubahan. Komitmen untuk mewujudkan tujuan antara tersebut membantu meningkatkan perasaan urgensi. Kesalahan yang sering terjadi adalah mengabaikan tujuan antara.

Langkah 7:

Consolidating Improvements and Producing Still More Changes

Keberhasilan mewujudkan tujuan antara perlu dirayakan. Berbagai bentuk perayaan dapat diadakan. Memuat tulisan selamat dalam intranet atas suatu keberhasilan unit kerja dalam menwujudkan tujuan merupakan satu bentuk perayaan, mengumumkan pemberian insentif atas keberhasilan suatu unit kerja adalah juga satu bentuk perayaan. Momentum perayaan harus dimanfaatkan untuk meningkatkan rasa urgensi. Merayakan tidak sama dengan melakukan deklarasi. Melakukan deklarasi mempunyai makna mengumumkan bahwa tujuan perubahan telah terwujud. Melakukan deklarasi terlalu dini dapat menurunkan rasa urgensi. Kesalahan yang terjadi dalam mengelola perubahan adalah terlalu dini mendeklarasikan keberhasilan. Kadang kadang pemimpin bermaksud melakukan perayaan, namun karyawan menginterpretasikan sebagai deklarasi.

Langkah 8:

Institutionalizing New Approaches

Langkah terakhir dalam memimpin perubahan adalah mengukuhkan (melembagakan) perilaku kerja yang sesuai dengan apa yang direncanakan. Perubahan dikatakan berhasi jika karyawan sudah berpendirian bahwa perilaku kerja yang baru tersebut adalah perilaku kerja yang benar. Perilaku harus dikukuhkan, dilembagakan, melalui dua cara sebagai berikut. Pertama, pemimpin harus secara tegas menyampaikan kepada seluruh karyawan bahwa peningkatan kinerja perusahaan terjadi karena semua karyawan menerapkan pendekatan baru, perilaku baru, dan sikap baru. Kedua yakinkan seluruh karyawan bahwa siapapun yang menjadi pemimpin puncak berikutnya pasti akan bangga dengan budaya baru tersebut.

Langkah langkah perubahan yang dirumuskan oleh Carr (1994) dan Kotter (2007) tersebut adalah rumusan berdasarkan kajian teoretis dan observasi lapangan. Rumusan rumusan tersebut dapat dikatakan generalisasi dari langkah langkah perubahan yang diterapkan di berbagai perusahaan yang berhasil menerapkan perubahan. Berikut ini langkah langkah yang diterapkan oleh Jack Welch di GE sebagaimana diuraikan oleh D.A Garvin dalam Learning in Action: A Guide to Putting the Learning Organization to Work (2000).

Pada waktu Jack Welch menjadi CEO perusahaan General Electric (GE), perusahaan tersebut dalam keadaan kacau balau dan merugi. Tugas utama Jack Welch adalah menjadikan GE perusahaan yang profesional yang profit. Welch kemudian membentuk tim kecil untuk merumuskan langkah langkah untuk mentransformasi GE di seluruh dunia. Setelah melakukan kajian, tim tersebut merumuskan tujuh langkah perubahan, sebagaimana diuraikan oleh Garvin (2000), tujuh langkah tersebut adalah sebagai berikut.

1.      Leading Change. Pemimpin harus komit terhadap perubahan, baik waktu maupun perhatian

2.      Creating a shared need. Seluruh karyawan harus sepenuhnya memahami alasan perubahan

3.      Shaping a vision. Seluruh karyawan harus sepenuhnya memahami arah dan tujuan perubahan

4.      Mobilizing commitment. Seluruh karyawan harus memahami stakeholders dan tuntutan dari para stakeholder. Yakinkan karyawan akan pentingnya membangun kerjasama untuk memenuhi kerbutuhan stakeholders.

5.      Making change last. Perubahan harus dimulai dari langkah pertama dan kemudian membuat rencana jangka panjang

6.      Monitoring Progress. Membuat matriks sebagai alat untuk mengontrol dan mengevaluasi keberhasilan perubahan.

7.      Changing system and structure. Mengembangkan karyawan, melakukan evaluasi kinerja, mengkomunikasikan keberhasilan, memberikan rewards, memperbaiki sistem pelaporan sesuai dengan perubahan.

Penerapan 7 langkah perubahan tersebut membuat GE bangkit dari kerugian dan menjadi perusahaan kelas dunia. Jack Welch menjadi terkenal dan diakui sebagai CEO terkemuka di dunia.

Model Manajemen Perubahan

Model dasar manajemen perubahan yang lazim dipakai adalah model yang dikembangkan oleh Kurt Lewin, yang dikenal dengan Lewin’s  Three Step Model, karena model ini terdiri dari tiga langkah dalam melakukan perubahan. Model ini pertama kali dikembangkan Lewin pada tahun 1940; kemudian Schein melakukan kajian dan menggunakannya lagi pada tahun 1970, sepuluh tahun  kemudian Beckhart melakukan kajian ulang, namun tetap mengakui kebenaran model ini.

Kata unfreezing berasal dari kata freeze (membeku). Yang dimaksud dengan membeku adalah kebiasaan kerja yang selama ini diterapkan dimana karyawan merasa nyaman dengan dengan kebiasaan kerja tersebut. Dalam melakukan perubahan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menggugah kesadaran bahwa zona nyaman tersebut (cara kerja, mekanisme kerja, teknologi, struktur organisasi, atau yang lainnya yang selama ini menjadi zona nyaman) sudah tidak mumpuni lagi. Menggugah kesadaran harus merujuk pada realita tentang persaingan, kebutuhan pelanggan, perkembangan teknologi, regulasi yang berlaku, dan fakta lain yang relevan.

Langkah moving dilakukan jika unfreezing telah dilaksanakan dengan baik. Pelaksanaan perubahan harus menuju ke suatu titik sebagai tujuan perubahan yang harus dirumuskan secara bertahap. Artinya, untuk mewujudkan tujuan akhir, harus diwujudkan sejumlah tujuan kecil sebagai tujuan antara. Dalam usaha mewujudkan tujuan durasi waktu harus diperhatikan.

Jika hal hal yang telah dirancang dilaksanakan dengan baik sehingga tujuan terwujud, baik tujuan antara maupun tujuan akhir, maka perilaku kerja yang mendukung pencapaian tujuan tersebut harus dikukuhkan. Inilah yang disebut dengan istilah refreezing (membekukan kembali), menjadikan budaya baru tersebut sebagai zona nyaman yang baru.

Gambar 1: Lewin’s Three-Step Model

Untuk memudahkan pemahaman, model perubahan yang dikenal dengan Lewin’s Three-step model ini dikembangkan dengan visualisasi yang disebut dengan Force Field Analysis. Berikut disajikan model force field analysis yang juga dikembangkan oleh Lewin.

Pengertian Status Quo adalah keadaan atau kondisi yang sedang terjadi sehingga perubahan perlu dilakukan. Yang menjadi status quo dapat berupa teknologi yang dipakai adalah teknologi lama, atau gaya manajemen dimana pengambilan keputusan dilakukan secara sentralisasi, dan lain lain. Sedangkan desired state adalah penggunaan teknologi baru, desentralisasi dll.

Gambar 2: Lewin Force-Field Analysis

Dalam model Force field analysis diatas, arah tanda panah ke bawah menunjukan restraining force, yang menggambarkan resistensi terhadap perubahan. Arah panah ke atas merupakan driving force, yaitu usaha usaha yang dilakukan oleh agen perubahan untuk meminimalisasi resistensi. Arah garis putus putus ke kanan dalam bentuk miring curam artinya proses perubahan. Semakin landai garis putus putus tersebut berarti semakin lama durasi waktu yang diperlukan untuk mewujudkan desired state.

BAGIAN III

TRANSFORMASI PERGURUAN TINGGI DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

Setelah membahas kajian terkait teori manajemen perubahan , maka selanjutnya akan dikaji bagaimana manajemen perubahan tersebut diaplikasikan dalam kontek dunia pendidikan, yaitu upaya transformasi Perguruan Tinggi untuk meningkatkan daya saingnya untuk menghadapi globalisasi.

Terkait transformasi dalam dunia pendidikan, Duderstadt J,J, dalam bukunya yang berjudul ‘A University for The 21st Century’ (2003), menyatakan bahwa universitas sebagai institusi sosial telah cukup baik dalam kapasitasnya untuk berubah, dan untuk tetap melakukan perubahan hingga saat ini. Namun dorongan perubahan pada Universitas ,didorong oleh perubahan sosial, ekonomi dan teknologi, mungkin lebih besar dibanding dengan kapasitas adaptif dari paradigma pendidikan saat ini. Kita mungkin telah mencapai krisis poin dari pendidikan tinggi dimana perlu untuk merekonstruksi paradigma universitas dari elemen yang paling fundamental, bahkan mungkin untuk untuk me-reinvent universitas.

Selanjutnya dikatakan bahwa tantangannya sebagai institusi, sebagai komunitas yang kompleks, adalah belajar bagaimana bekerja bersama untuk menyediakan lingkungan dimana perubahan seperti itu tidak dianggap sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang yang menantang menyenangkan untuk terlibat dalam aktivitas utama di universitas, yaitu belajar. Untuk menjadi sukses, kita harus mengembangkan budaya yang lebih flexsibel. Kita harus dapat beradaptasi secara cepat, tetapi tetap mempertahankan nilai nilai dan tujuan tujuan yang mendorong dan relevan dalam pencapaian misi. Kita harus bertanya kepada kita sendiri: apa yang siswa kita butuhkan pada zaman globalisasi? Apa yang dibutuhkan oleh penduduk di masa depan? Bagaimana kita membentuk misi baru untuk komunitas yang terus berubah sementara tetap memegang nilai yang selama ini berlaku. Kapasitas ini, yakni untuk berubah, untuk perbaharuan, adalah tujuan kunci yang harus dicapai dengan usaha keras pada tahun tahun kedepan, suatu kapasitas yang akan memberikan kemampuan untuk bertransformasi seperti yang telah dilakukan beberapa kali diwaktu yang lampau.(Duderstadt ibid),

Kemudian menyatakan area transformasi yang perlu dicermati oleh universitas  harus mencakup semua aspek dari institusi yakni:

1.      Misi universitas

2.      Restrukturisasi finansial

3.      Organisasi dan tatakelola

4.      Transformasi intelektual

5.      Hubungan dengan konstituen luar

6.      Perubahan budaya

(Duderstadt ibid)

Sementara Johnson dan Rush, dalam bukunya yang berjudul Reinventing The University: Management and Financing Institution (1995) mengemukakan bahwa mengelola perubahan harus didasarkan pada tiga hal, yaitu: (1) melakukan perluasan akses, (2) mengatasi tantangan yang dihadapi saat ini, dan (3) melibatkan tiga pimpinan utama yaitu Rektor, Dekan dan Ketua Jurusan. Dengan kondisi seperti ini diharapkan pendidikan tinggi mampu mengelola perubahan secara lebih solid dan elegan.

Dikemukakan pula bahwa dalam proses restrukturisasi diperlukan sebuah pendekatan yang direkomendasi oleh sekolah tinggi atau universitas. Empat langkah pendekatan proses restrukturisasi di perguruan tinggi, yaitu (1) menetapkan konteks dan mengembangkan pedoman dasar dan tujuan artinya rektor yang merencanakan untuk merestrukturisasi administrasi lembaga dengan menentukan konteks dan mengembangkan dasar dan tujuan yang akan digunakan sebagai dasar dalam membuat keputusan, (2) mengidentifikasi dan memprioritaskan peluang yang bermakna untuk meningkatkan dan mewujudkan kemenangan dengan cepat, (3) merencanakan dan mengenalkan program implementasi, dan (4) meningkatkan kesepakatan pada model bisnis. (Johnson et al, 1995)

Ada lima proses identitas pendidikan tinggi, yaitu (1) melakukan perencanaan strategis dan mengalokasikan sumber-sumber, (2) mengelola sumber bagi para staf pengajar, (3) menghasilkan pengetahuan baru, (4) mendidik mahasiswa dan (5) memberi pelayanan pada masyarakat. Kelima pemetaan proses tersebut memberikan sebuah kerangka kerja perubahan pendidikan tinggi karena hal itu menunjukan bagaimana proses-proses terkait yang mendukung lembaga. (Johnson et al, ibid)

Perubahan Peran Pendidikan Tinggi

Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, terutama telekomunikasi dan transportasi telah mempermudah akses kepada setiap orang sehingga batas batas antara negara semakin transparan secara ekonomi, sosial, politik, dan budaya, sehingga hal tersebut memicu kompetisi global yang semakin menguat dari waktu ke waktu. Setiap negara menghadapi tantangan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saingnya diantara negara-negara di dunia untuk mampu memelihara pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan warga negaranya.  Globalisasi menurut Carnoy (2005) adalah kompetisi yang lebih, tidak hanya dengan perusahaan dalam satu kota atau daerah yang sama. Globalisasi juga berarti batas negara tidak membatasi investasi, produksi, atau inovasi suatu negara.

Pada dunia yang  bergerak cepat menuju kearah sistem yang mengglobal, pergerakan dan mobilitas manusia lintas batas negara dengan lebih mudah menjadi bagian kehidupan sehari hari. Pendidikan tinggi sebagai salah satu ujung tombak pengembangan SDM harus berada didepan untuk mempersiapkan para lulusannya untuk dilengkapi dengan keterampilan yang dibutuhkan, wawasan dan kemampuan untuk bekerja dan produktif dalam sistem tersebut. PT harus mempersiapkan lulusannya dengan kreativitas dan keterampilan belajar seumur hidup yang diperlukan untuk generasi masa depan. Para siswa juga harus dibekali dengan pemahaman yang baik tentang isu global dan diekspose ke situasi multi budaya untuk dididik menjadi warga negara global yang bertanggungjawab. Oleh sebab itu internasionalisasi PT hal yang tidak terhindarkan.

Universitas menurut Richard Florida, dalam penelitiannya yang berjudul The Role Of The University: Leveraging Talent, Not Technology” (1999) mengemukakan bahwa Universitas jauh lebih penting berperan sebagai sumber utama negara dalam penciptaan knowledge dan talenta. Orang orang pandai adalah sumberdaya yang utama ekonomi, terutama ekonomi berbasis knowledge yang berkembang pesat (Florida, 1999). Dari pendapat tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa produktivitas dalam riset dan pengembangan SDM untuk menghasilkan talenta adalah sangat strategis dan berpengaruh terhadap daya saing universitas dan secara lebih umum berpengaruh terhadap daya saing ekonomi suatu bangsa.

BAGIAN 4

KESIMPULAN

Transformasi dan perubahan yang dilakukan oleh suatu perguruan tinggi, akan berhasil jika terdapat komitmen yang tinggi, kapasitas kemampuan pemimpin, komunikasi pimpinan perguruan tinggi, selain itu pula terdapat unsur lain yang memegang peran yang fundamental yaitu perencanaan strategis, karena pengembangan pendidikan merupakan suatu perubahan yang bersifat terencana. Oleh karena itu ketepatan dalam merumuskan strategi dalam perencanaan strategis memiliki peran yang penting dalam mendukung transformasin perguruan tinggi.

Dalam melakukan perubahan tahapan tahapan dan kajian terhadap faktor faktor yang strategis mempengaruhi kesuksesan dan kegagalan suatu perubahan juga sangat penting untuk dipelajari, dengan begitu lembaga pendidikan dalam proses transformasinya melakukan pembelajaran untuk mencapai kesuksesan dalam melakukan transformasinya menuju perguruan tinggi yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, serta berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi dan daya saing negara.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed,P K, Lim,K K, & Loh, A,Y,E.,(2002), Learning Through Knowledge Management. London: Butterworth – Heinamann

Balogun, J, Hailey,V,H.,(2004), Exploring Strategic Change, London: Prentice Hall

Bateman T S, Snell, S.,(2002), Management, Competing in The New Era. New York: Mc Graw-Hill,Inc

Carnoy, Martin (2005), Globalization, educational trend, and the open society. OSI Education Conference 2005: “Education and Open Society: A Critical Look at New Perspectives and Demands”. Tersedia di: http://www.soros.org/initiatives/esp/articles_publications/articles/globalization_20060217/carnoy_english.pdf (diakses September 2010)

Carr, C.(1994) 7 Keys to Successful Change, Training, Vol 31, No 2, hal 55 – 60

Christensen, C,M. Dan Overdorf, M. (2005) Meeting the Challenge of Disriptive Change. Harvard Business Review

Duderstadt, J (2003), A University for The 21st Century. Michigan: The University of Michigan Press

Florida, R. (1999) The Role Of The University: Leveraging Talent, Not Technology” Summer 1999,Hal 67-73 the University of Texas at Dallas, Richardson,Diakses April 2009, tersedia di: http://www.aaas.org/spp/yearbook/2000/ch31.pdf.

Garvin, D.A.(2000) Learning in Action: A guide to Putting The Learning Organization to Work. New York: Harvard Business School Press

Johnson, L. dan Rush S,C. (1995) Reinventing The University: Management and Financing Institution, Newyork: John Willey & Son Inc,

Kotter,J.P, dan Schlesinger,L.A.,(2008) Choosing Strategies for Change. Harvard Business Review, Juli – Agustus, Hal 130 – 139 (Artikel Re-print tahun 1979)

Kotter, John P (2007) Leading Change: Why Transformation Effort Fail. Harvard Business Review. Tersedia di: http://www.leadingup.org/c/document_library/get_file?uuid=6a59c22f-7854-4039-befa-18d0d2a5ed94&groupId=560543 (diakses September 2010)

Ling, Peter (2005) From a Community of Scholars to a Company’ dalam K, Fraser (Ed) Education Development and Leadership in Higher Education – Developing an Effective Institutional Strategy. NewYork: RoutledgeFalmer

Newton, Richard (2007) Managing Change Step by Step, All You Need to Build a Plan and Make It Happen, London: Prentice Hall

Robbins S P. dan  Judge T A.(2009) Organizational Behavior. New York: Prentice Hall

Robbins, Stephen P, (2004) Organizational Behavior – Concept, Controversies, Aplication 4th Ed. New York: Prentice Hall

Smither, R.D., Houston,J,M. dan Mc Intire, S.A.(1996) Organizational Development: Strategies for Changing environment.New York: Prentice-Hall

Sonnenberg, F,K. (1994) Managing with a Conscience: How to improve performance through integrity, Trust, and Commitment. New York: McGraw-Hill Inc

Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar